Sabtu, Agustus 08, 2009

Mbah Surip dan Pelajaran Mengenali Bakat Sejak Dini

Mbah Surip, meski telah tiada, hingga hari ini tetap menjadi bahan pemberitaan di mana-mana. Televisi masih terus menyuguhkan cuplikan haaa.. haa.. haaa.., tawa khas seniman berambut gimbal itu, bahkan sejak kita masih belum bangun tidur. Begitu singkat Mbah Surip kita kenali, tapi begitu banyak cerita unik yang kita dapati. Tiga bulan masa ketenarannya seolah menjadi waktu yang sangat padat untuk dia isi. Kita yang sedang haus karya-karya seni rasa baru, unik, dan orisinal, lantas menjadi sangat kehilangan setelah Mbah Surip tiada. Kita berpikir, seandainya Mbah Surip bisa mencipta lagu dan berkesenian lebih lama, betapa terhiburnya kita.
Ada pertanyaan yang mestinya bisa menjadi pelajaran bersama; mengapa negeri ini gagal mengenali orang-orang semacam Mbah Surip sejak awal? Cobalah kita sedikit tidak terburu-buru menjawab pertanyaan seperti ini. Sebagai penyanyi, betapa jauh dan melenceng karir yang telah dia tempuh. Menjadi pekerja tambang berpindah-pinah, makelar karcis bioskop, dan lain-lain. Semua profesi itu tidak ada hubungan sama sekali dengan bakat yang dia miliki, yaitu penyanyi dan pencipta lagu. Yang patut kita syukuri adalah, dalam perjalanan hidup yang tak searah dengan bakatnya itu, Mbah Surip tidak patah arang. Dalam kesulitan hidup yang memuncak pun, pria asal Mojokerto itu tetap tidak menyerah dengan konsep berkeseniannya.
Artinya, ketika dia punya sedikit uang yang didapat dari hasil memeras keringat sebagai pekerja tambang maupun ngamen di jalan, dipakailah uang itu untuk membiayai proses berkeseniannya, membuat album lagu. Ya, proses kesenian selalu butuh biaya. Tak banyak seniman sanggup menjalani proses seperti Mbah Surip.
Kembali pada pertanyaan: mengapa bakatnya tak bisa kita kenali sejak awal? Tentu hal itu sangat berkait erat dengan dunia pendidikan kita. Tak terlalu salah kalau kita terus memperbaiki mutu dan sistem pendidikan yang kita miliki. Sekarang ini masih begitu minim sekolah kejuruan yang kita miliki. 70 persen SLTA yang di Indonesia adalah sekolah umum! 30 persennya adalah sekolah kejuruan. Di negara maju, komposisinya berbalik. Malah, Di Jerman dan Jepang, misalnya, penduduknya sudah diarahkan untuk menjadi spesialis sejak SLTA. Dengan begitu, seorang anak sudah harus ketahuan bakatnya sejak remaja, bahkan kanak-kanak. Terus, dicarilah sekolah yang pas dengan bakatnya. Kalau sejak kecil sangat suka dengan balapan, dia akan sekolah kebut-kebutan saja. Kalau dia berminat sekali dengan dunia masak-memasak, masuklah dia ke sekolah tata boga. Di sini, lulus SMA masih tak tahu bakatnya apa. Lulus perguruan tinggi banyak yang masih bingung mau ke mana. Kalau saja Mbah Surip hidup di era dengan kualitas dan sistem pendidikan yang sudah jauh lebih baik, mungkin dia tak perlu terlalu kesasar ke mana-mana. Dia punya waktu untuk berkarya lebih leluasa, kita bisa menikmati karyanya lebih full!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger

Grey Floral ©  Copyright by Artikel Pendidikan | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks